![]() |
Daerah Aliran Sungai (DAS) Baloi, Batam yang ditimbun beberapa bulan lalu. (14/3/2025). |
PELiTAKOTA.com|BATAM, Publik Batam kini menaruh tanya besar atas penanganan kasus penimbunan Daerah Aliran Sungai (DAS) Baloi. Sudah lebih dari empat bulan sejak kasus ini mencuat, namun proses penegakan hukum yang ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Kepri dinilai berjalan sangat lamban.
Pertanyaan yang menyeruak di kalangan masyarakat adalah: apakah ada intervensi atau tekanan tertentu sehingga proses hukum seolah berjalan di tempat? Rakyat Batam berhak mendapatkan kepastian hukum, apalagi persoalan DAS menyangkut kepentingan lingkungan hidup, tata ruang kota, serta hak masyarakat atas ruang publik yang lestari.
Santer informasi di tengah masyarakat Kota Batam menyebut bahwa dalang di balik penimbunan DAS Baloi adalah seorang oknum Anggota DPRD Kepri dari Fraksi NasDem, Lik Khai. Dugaan inilah yang menambah kuat kecurigaan publik bahwa ada kepentingan politik atau kekuasaan yang mencoba menghambat jalannya proses hukum.
Ketua LMS GACD, Andar Situmorang,SH,MH, Sabtu (23/8/2025) mengatakan Potensi Pelanggaran UU Lingkungan Hidup mengatakan bahwa Penimbunan DAS bukanlah perkara kecil. Tindakan tersebut secara nyata berpotensi melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf a dan huruf h UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dengan tegas melarang:
setiap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, serta penimbunan pada daerah aliran sungai, sempadan sungai, dan sumber air tanpa izin pejabat berwenang.
Lebih jauh, Andar Situmorang mengatakan, Pasal 98 sampai 103 UU 32/2009 mengatur ancaman pidana berat bagi siapa pun yang dengan sengaja melakukan perusakan lingkungan hidup. Pelaku dapat dijerat dengan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda miliaran rupiah, bergantung pada dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Selain UU Lingkungan Hidup, ada sejumlah aturan pidana lain yang bisa menjerat pihak-pihak yang terlibat maupun memberi perlindungan pada penimbunan DAS Baloi:
KUHP
Pasal 55 & 56 KUHP: setiap orang yang turut serta atau membantu tindak pidana dapat dihukum sebagai pelaku.
Pasal 421 KUHP: pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dapat dipidana penjara hingga 6 tahun.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Pasal 5 ayat (2): pejabat yang menerima suap dipidana penjara 1–5 tahun dan denda Rp50–250 juta.
Pasal 11: penyelenggara negara yang menerima hadiah karena jabatan dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda Rp250 juta.
Pasal 12 huruf a & b: pejabat yang menerima suap atau gratifikasi terkait kewenangan jabatannya dapat dipidana penjara 4–20 tahun atau seumur hidup, dengan denda Rp200 juta–Rp1 miliar.
Dengan demikian, kasus DAS Baloi tidak hanya menyangkut pelanggaran lingkungan, tetapi juga berpotensi masuk ke ranah pidana umum dan tindak pidana korupsi jika terbukti ada praktik backing, intervensi, atau suap dari pihak tertentu,”beber andar dalam catingan pribadinya melalui whatsapp".
Lebih jauh Andar menyebut, Dalam konteks ini, penegakan hukum yang berlarut-larut semakin menimbulkan kecurigaan adanya main mata antara aparat penegak hukum dengan pihak berkepentingan. “Saya mendesak agar Polda Kepri membuka secara transparan perkembangan kasus ini, termasuk siapa saja yang telah diperiksa dan sejauh mana proses penyidikan berjalan,”pungkasnya
Tentunya, tanpa transparansi dan kepastian hukum, masyarakat hanya bisa menduga-duga bahwa ada pihak yang “bermain di belakang layar” untuk memperlambat, bahkan mungkin menghentikan proses hukum penimbunan DAS Baloi.
Kini, rakyat Batam menunggu bukti keseriusan aparat penegak hukum: apakah hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru tunduk pada intervensi kepentingan tertentu.
Hingga berita ini ditayangkan, tim awak media masih berupaya meminta konfirmasi kepada pihak Ditreskrimsus Polda Kepri terkait perkembangan penanganan serta langkah hukum yang telah dilakukan. Publik Batam kini menanti jawaban dan kepastian hukum, apakah aparat serius menegakkan aturan atau membiarkan kasus ini berlarut tanpa kejelasan.##