Notification

×

Diduga Hasil Sewa 63 Bangunan Kios di Aset Tanah Pemerintah Masuk Kantong Pribadi Oknum Kepsek di Natuna

Kamis | Juli 31, 2025 WIB Last Updated 2025-07-31T02:58:46Z

Ilustrasi. Foto: Hukum Online. 

PELiTAKOTA.com|NATUNA- Kasus korupsi “berjamaah” di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, jadi preseden buruk dunia pendidikan. Puluhan oknum kepala sekolah yang harusnya menjadi garda terdepan untuk memberikan contoh baik, ternyata diduga jadi “pelaku” praktek pungutan liar selama bertahun-tahun. 


Sebelumnya, media menyorot soal pungutan liar di sejumlah sekolah. Modusnya, puluhan oknum  kepala sekolah menyewakan aset tanah atau bangunan tanpa dasar hukum dan uangnya di duga dikumpulkan untuk kepentingan pribadi oknum guru, keperluan sekolah dan parahnya, masuk kantong pribadi karena tidak jelas peruntukannya. 


Berdasarkan investigasi, terdapat 63 kios dari 54 sekolah, aset negara dipakai tanpa dasar hukum. Namun, bertahun-tahun lamanya, praktek korupsi tenaga pengajar ini “dibiarkan” Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Natuna. Padahal, sudah ada dasar hukum terkait retribusi sejak tahun 2013. 


Dalam Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2018 tentang perubahan Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2013, kemudian Peraturan Daerah nomor 15 tahun 2023 tentang Retribusi, sudah memuat katagori retribusi kantin atau kios berdasarkan ukuran sewa lahan atau bangunan. Namun, sejak tahun 2013, tidak ada satupun pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor itu disetorkan ke rekening kas daerah sampai tahun 2024. 


Dari hasil Investigasi tim media ini dilapangan, mengungkap jika para pedagang tersebut membayar rutin uang sewa setiap bulannya. Bahkan, biaya sewa yang dikutip belum termasuk tagihan listrik. 


“Kami berjulan sejak tahun 2017 bahkan ada yang lebih lama. Kami bayar sewa Rp300.000 perbulan diluar listrik. Kalau  pakai listrik tambah Rp50.000 per bulan, jadi Rp350.000,” ucap WI (nama singkatan) saat dikonfirmasi wartawan Mandalapos, Selasa 29 Juli 2025. 


Selain WI, mayoritas pedagang dilingkungan sekolah mengaku jika mereka rutin memberikan uang sewa bulanan dan sudah berjalan bertahun-tahun. Meski tarif setiap sekolah berbeda-beda, namun, mereka mengaku jika uang itu diberikan pada pihak sekolah, bukan disetorkan ke rekening kas daerah.


Namun, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Natuna, Hendra Kusuma dan Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Dasar, Umar Wirahadi Kusuma, saat dikonfirmasi wartawan, Rabu 30 Juli 2025 di ruang kerjanya, mengaku jika persoalan itu bermula dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pihanya sudah memanggil kepala sekolah agar segera mengembalikan dana. “Saya sudah tekankan langsung agar yang belum mengembalikan, segera menyelesaikannya. Jangan sampai berlarut-larut. Ini masalah integritas dan tanggung jawab,” katanya. 


Pernyataan ini tentu menimbulkan tanda tanya, benarkah demikian? Hasil investigasi media justru menemukan bukti, jika Badan Pemeriksa Keuangan hanya melakukan audit tahun 2024 saja. Sementara, praktek pungutan liar itu sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Total dana sewa untuk tahun 2024 saja  tembus Rp75.480,000. Jika pungutan itu sudah berjalan bertahun-tahun, publik dan aparat penegak hukum sudah bisa menghitung berapa kebocoran keuangan negara dari praktek korupsi tersebut. 


Mirisnya, temuan Badan Pemeriksa Keuangan untuk mengembalikan dana sewa kantin tahun 2024 ke rekening kas daerah hingga saat ini belum tuntas. Hal itu terjadi karena sejumlah sekolah sudah memakai uang tersebut di tahun 2024. 


Dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pasal 2 ayat (1) huruf a tentang penyebab kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, Pasal 3 tentang menyuap atau menerima suap, Pasal 5 tentang Memberikan hadiah atau janji kepada pejabat, dan Pasal 11 tentang Menyalahgunakan wewenang.

Dalam peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, unsur “penyalahgunaan wewenang” telah diatur bahkan menjadi bagian dari inti delik korupsi. Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan sebagai berikut: 

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 


Hingga berita ini di publis Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Natuna belum berhasil dimintai tanggapannya terkait persoalan ini. Bahkan, sejumlah kepala sekolah yg diduga terlibat dalam pungutan liar itu belum berhasil juga ditemui untuk penjelasanya.(**)